Tuesday 11 September 2012

Takdir Kita Berawal Dari Pikiran Kita.


Salah satu hal yang membuatku tidak nyaman beribadah ke gereja pada hari Minggu adalah karena aku harus duduk diam mendengarkan seseorang berbicara nonstop selama 15-20 menit tentang hal-hal yang seringkali tidak cocok dengan pemahamanku yang kuperoleh dari pengalaman hidupku yang nyata. Entahlah, mungkin teorinya memang seperti yang dikhotbahkan itu, atau cuma pengkhotbahnya yang menafsirkan menurut kemampuannya sendiri yang – mungkin – tidak memadai.
Minggu lalu seorang pendeta senior berkhotbah tentang hubungan iman dan kekuatan menghadapi kehidupan. Dalam beberapa hal aku sepakat, namun dalam beberapa hal yang lain aku tidak sepakat. Aku sepakat bahwa manusia butuh keyakinan bahwa ia sanggup menghadapi apapun yang terjadi dalam hidupnya. Namun aku tidak sepakat ketika pendeta tersebut mengutip ayat Alkitab yang kira-kira bunyinya “jaman akan semakin sukar” lalu mengamininya karena yang bilang gitu Alkitab yang tidak boleh dipertanyakan kebenarannya. Aku tidak sepakat karena itu seperti pemrograman pikiran negatif ke alam bawah sadar jemaat. Seorang guruku berkata, kalau kita adalah gajah, kita harus hati-hati dalam melangkah. Karena mungkin kita merasa biasa saja, namun tanpa sadar kita menginjak seekor tikus hingga mati. Artinya, sebagai pendeta yang memiliki posisi yang tinggi yang membuat apapun yang dikatakan cenderung dipercaya sebagai kebenaran, seorang pendeta harus sangat berhati-hati ketika berbicara. Perkataan yang keluar dari mulutnya harus berdasar pemahaman yang kuat dan mendalam tentang kehidupan secara universal dan bukan kehidupan menurut kacamata agamanya saja. Itulah sebabnya saya sebenarnya mengharapkan para pendeta belajar berbagai macam hal termasuk hal-hal yang nampaknya tidak berkaitan dengan agama. Misalnya tentang cara kerja pikiran manusia, psikologi, hipnoterapi, hal-hal yang dianggap supranatural, bahkan termasuk juga soal bisnis. Pelajaran-pelajaran yang didapat dari berbagai bidang itu akan memperkaya wawasan seorang pendeta dan pada akhirnya akan memperkaya kehidupan jemaat. Jadi jemaat bukan hanya menjadi sapi perah atau kerbau pembajak sawah gereja saja, disuruh ini itu, melayani ini itu, ikut ini itu, dll, namun juga didorong untuk bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang lebih baik dan lebih sempurna tidak hanya secara rohani namun juga secara jasmani dan spiritual. Saya membedakan rohani dan spiritual karena dalam pemahaman saya, rohani lebih condong ke hal-hal yang berkaitan dengan agama sedangkan spiritual adalah hal-hal yang lebih luas berkaitan dengan eksistensi seseorang sebagai manusia.
Kembali ke topik jaman yang menurut Alkitab akan semakin susah, ini seperti menakut-nakuti jemaat dan memenjarakannya dalam penjara imajiner dalam pikiran mereka sendiri. Lalu ketika jemaat sudah terpenjara dalam ketakutan mereka sendiri, gereja menawarkan jalan keluar, juru selamat yang akan membebaskan jemaat dari ketakutan-ketakutan itu. Lah ini bagi saya nonsense. Orang disuruh percaya bahwa hidup ini sangat berat, lalu disuruh percaya bahwa ada jalan keluar asalkan mau percaya pada ajaran gereja. Pola ini ada sejak awal pengajaran Alkitab (dan kitab-kitab agama lain). Manusia disuruh percaya bahwa umat manusia adalah umat yang hidup dalam hukuman karena Adam dan Hawa melanggar perintah Tuhan. Manusia hidup dalam hukuman sejak lahir. Kemudian manusia harus melakukan sesuatu untuk lepas dari hukuman itu. Ada yang mengajarkan bahwa manusia harus menebus hukumannya dengan melakukan amal ibadah, ada yang mengajarkan bahwa manusia harus percaya pada sesosok juru selamat supaya bisa lepas dari hukuman secara otomatis. Jadi pikiran manusia diprogram untuk percaya bahwa dirinya adalah makhluk terkutuk, lalu diinput program lagi bahwa kutukan itu bisa lepas asalkan bla bla bla. Tapi apakah yang diajarkan oleh agama itu benar, 100% benar? Ataukah hanya kepercayaan tak berdasar yang dipercaya secara turun temurun sejak ribuan tahun lalu ketika manusia bahkan masih percaya bahwa ada Dewa yang bersemayam di gunung-gunung? Pemahaman bahwa Alkitab adalah sebuah kebenaran yang mutlak dan tidak boleh diragukan kebenarannya bagi saya adalah nonsense. Hal yang tidak masuk akal, ketika sebuah kebenaran tidak boleh diuji kebenarannya.
Beberapa waktu yang lalu saya belajar dari seseorang yang mengatakan bahwa justru jaman ini adalah jaman yang terbaik bagi seseorang untuk hidup dan berkembang. Mengapa? Karena pada jaman inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah kita mempunyai kekuatan di ujung jari kita. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, kita bisa mengakses pengetahuan dari seluruh dunia hanya dengan ujung jari kita. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah manusia, kita bisa mendapatkan lebih banyak pengetahuan dalam waktu sehari dibanding kakek kita sepanjang hidupnya. Seluruh dunia kini berada dalam jangkauan tangan kita. Informasi global bisa kita akses secara instan. Inilah kesempatan terbaik bagi kita semua untuk tumbuh dan berkembang. Kesempatan yang tidak akan kita lihat kalau kita percaya bahwa jaman ini adalah jaman yang susah dan akan semakin susah. Ketika orang-orang tua termasuk para pendeta senior masih percaya bahwa ini adalah jaman yang sulit, para remaja di seluruh dunia yang melihat kesempatan dan mengambilnya ketika ia muncul justru berhasil mencapai hal-hal yang bahkan tidak berani diimpikan oleh orang-orang tua. Believe me, saya mengenal banyak anak muda usia belasan dan dua puluhan tahun yang sudah memiliki penghasilan puluhan juta per bulan. Bahkan sebagian berpenghasilan hingga ratusan juta dan milyaran rupiah per bulan. Kalau anda tidak percaya karena itu tidak masuk akal bagi anda, ya sudah. Berarti akal anda memang tidak cukup untuk menampungnya. Hahaha
Jadi hal-hal seperti itulah yang membuatku tidak nyaman duduk mendengarkan khotbah di gereja. Apa yang diajarkan di gereja seringkali tidak cocok bahkan bertolak belakang dengan kenyataan yang kuhadapi dalam kehidupan. Apalagi waktu khotbah, jemaat harus duduk diam mendengarkan tanpa punya kesempatan untuk bertanya, menyanggah dan berdiskusi. Kalo udah gitu, aku lebih memilih tidur atau mainan hape daripada harus mendengarkan khotbah omong kosong. Wkwkwk
Beberapa tahun belakangan ini aku mempelajari banyak hal tentang pikiran manusia, baik itu dari sudut pandang psikologi, hipnoterapi, juga dari sudut pandang agama, terutama agama Buddha. Aku merasa cocok dengan ajaran Buddha yang memang mengajarkan tentang hubungan pikiran manusia dengan kehidupan. In fact, kalau aku harus beragama, mungkin aku akan lebih memilih beragama Buddha ketimbang Kristen. Aku mengagumi dan belajar banyak dari Yesus, tapi aku tidak suka dengan ajaran gereja. Just like Gandhi said, I love Jesus, but I don’t like Christians.
Salah satu ajaran Buddha yang menurut pengujianku dari sudut pandang sains pikiran benar adalah:
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.

Diri kita hari ini berawal dari pikiran kita kemarin, dan pikiran kita hari ini membangun hidup kita esok. Hidup kita adalah ciptaan dari pikiran kita. – Buddha -
Dari pengalamanku, benar bahwa pikiran adalah pelopor, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita berawal dari pikiran kita. Ketika kita berpikir bahwa kehidupan ini susah, maka fokus kita akan menemukan bayak fakta pendukung bahwa kehidupan ini memang susah. Kemudian karena kita berpikir bahwa kehidupan ini susah, kita cenderung akan merasa berat. Tindakan-tindakan kita akan tidak maksimal karena kita sudah merasa bahwa hidup ini berat. Lalu kita akan mulai mengeluh dan mulai percaya bahwa hidup ini memang berat. Ketika kita hidup tidak maksimal setiap harinya, guess what? Itu akan jadi takdir kita, hidup jauh di bawah kemampuan maksimal kita.
Sebaliknya, ketika kita berpikir bahwa kehidupan ini penuh dengan kesempatan, bahwa jaman ini adalah waktu terbaik bagi kita untuk bisa tumbuh dan berkembang, kita akan mulai melihat banyak peluang dan pembelajaran di sekitar kita. Pikiran kita itu akan menarik kita ke arah yang positif. Ketika pikiran kita positif, tindakan kita juga akan positif. Ketika tindakan positif itu menjadi kebiasaan kita, guess what? Takdir kita juga akan jauh lebih baik ketimbang orang yang penuh pikiran negatif!
Jadi kesimpulannya, apa yang diajarkan oleh pendeta belum tentu benar. Kita perlu kritis mempertanyakan segala sesuatu yang diajarkan kepada kita. Guru saya bilang, berjaga-jagalah di gerbang pikiranmu supaya tidak seseorang memasukkan sesuatu benih yang buruk ke dalamnya. Pikiran adalah sesuatu yang sangat berdaya. Powerful. Seorang bijak pernah berkata,
Segalanya berawal dari pikiran. Pikiran membentuk ucapan, ucapan membentuk tindakan, tindakan membentuk kebiasaan, dan kebiasaan membentuk takdir.
Bagoih : Credit to berlin.

No comments:

Post a Comment